Cagar Budaya Indonesia : Keraton Surakarta Hadiningrat - Bukti Kemegahan Istana Mataram yang Lestari

"Keraton mung kari sak megaring payung, nanging lestantun"
Keraton hanya tinggal semekarnya payung, tetapi lestari

Matahari masih terik dengan sinarnya meski sudah mulai merayap turun ke peraduan. Tak gentar, langkah kaki menapak mantap menuju Keraton Surakarta Hadiningrat; istana masyhur yang berdiri kukuh dengan berjibun cerita sejarah di dalamnya.

(DokPri) Penampakan Bangunan Kori Kamandungan Lor Keraton Surakarta Hadiningrat

Wong Jowo ojo nganti ilang Jowone (Orang Jawa jangan sampai hilang jati dirinya). Pepatah yang sampai sekarang masih melekat, sekalipun terakhir terdengar ketika masih belajar bahasa Jawa di sekolah dasar dulu. Menerjang jarak 70 kilometer dari Semarang menuju Surakarta berulang kali mengendarai motor, tak sedikitpun memadamkan niat untuk mengulik Keraton Surakarta Hadiningrat. Rasanya seperti pulang kampung : menuntaskan rasa kangen yang terbendung.

Mari sejenak kembali ke masa silam. Keraton Surakarta Hadiningrat adalah sebuah nama dengan catatan perjalanan panjang, yang telah Ia lalui sedari dulu hingga detik ini. Didirikan pada tahun 1744 oleh Sri Susuhunan Pakubuwono II dan diresmikan pada tanggal 17 Februari 1745. Kemudian secara bertahap dibangun dan menggapai puncak keemasannya pada masa Sri Susuhunan Pakubuwono X pada tahun 1893-1939.

Sisi menarik dari Keraton Surakarta Hadiningrat terletak pada karakter pola dasar tata ruang yang menyebar dengan nilai fungsi tersendiri di setiap bangunannya. Contohnya bangunan Kori Kamandungan, baik bagian Lor (Utara) maupun Kidul (Selatan). "Kamandungan" bermula dari kata "mandung" yang berarti berhenti. Ini maknanya, setiap tamu yang ingin masuk ke Keraton harus berhenti sejenak di bangunan tersebut untuk mempersiapkan diri secara paripurna.

Disambut oleh gapura agung berhias ukiran besar di bagian atasnya, seolah mempersilahkan para tamu untuk menikmati keelokan Keraton Surakarta Hadiningrat. Dengan warna biru yang mendominasi Keraton, melambangkan simbol laut dan langit. Laut dan langit terbentang luas tak terhingga, dimaksudkan bahwa Keraton Surakarta Hadiningrat memiliki pandangan yang luas.


(DokPri) Penampakan Kori Talang Paten. Kori Talang Paten merupakan salah satu jalan masuk
menuju Sasana Narendra, tempat kediaman Raja (Sinuhun)

(DokPri) Penampakan Kori Gapit Wetan (Timur), gerbang menuju ke
kawasan dalam Baluwarti (tempat tinggal Abdi Dalem) 

Lantas, apakah bangunan bernilai sejarah tinggi ini sudah dirangkul oleh pemerintah? Seolah memperjelas pertanyaan tersebut, sebuah plang berwarna biru tua terpampang nyata berdiri di sisi Kori Gapit Wetan telah menjawabnya. Dengan tulisan Kawasan Cagar Budaya Indonesia, lengkap dengan keterangan Undang Undang RI No. 11 Tahun 2010 di bawahnya.

Masyarakat setempat pun hadir memberikan sinergi kepada Keraton; seperti contohnya tukang becak yang berjajar seirama mengantar wisatawan berkeliling, penjual es dawet yang memenuhi dahaga tatkala terik panas menyengat, ada pula tukang parkir yang mengenakan lurik Surakarta dengan blankon. Semua berkesinambungan, membentuk atmosfir yang hangat khas orang Jawa.


(DokPri) Penampakan Kedhaton Keraton Surakarta Hadiningrat.

Kawasan rindang yang dikelilingi oleh kurang lebih 79 pohon sawo kecik yang menjulang tinggi dengan ranting yang unik, sering disebut dengan Kedhaton. Di Jawa, pohon sawo kecik melambangkan kabecikan atau kebaikan dan mempunyai filosofi tersendiri yaitu sebagai pelindung.

Sebagai bentuk penghormatan, setiap pengunjung atau tamu yang berkunjung diharuskan memakai sepatu tertutup atau bertelanjang kaki. Serta dilarang memakai pakaian yang terlalu terbuka. Di area taman ini tanahnya tertutup oleh pasir hitam yang berasal dari pantai Selatan Jawa.


(DokPri) Urut dari kiri ke kanan :
Bangunan Sasono Sewaka - Bangunan Bangsal Pradangga - Bangunan Bangsal Musik 

Seolah menjadi primadona, di kawasan Kedhaton terdapat satu bangunan megah yang sangat menarik perhatian. Namanya Sasana Sewaka, sebuah bangunan yang khusus digunakan saat perayaan kenaikan tahta Raja (dalam satu tahun sekali). Sasana Sewaka memiliki banyak ornamen berupa patung marmer, lampu gantung dan barang mewah lainnya. Hanya Abdi Dalem atau orang-orang dengan dhawuh (perintah) Raja yang diperbolehkan untuk memasuki Sasana Sewaka.

Berbicara tentang Abdi Dalem (orang-orang yang mengabdi kepada Keraton), tingkat loyalitas mereka tak perlu diragukan lagi. Semangat dan pengabdian mereka tak pernah surut terkikis usia. Bagi mereka, Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan simbol kemakmuran dan kedamaian menjalani kehidupan, dan itulah yang para Abdi Dalem dambakan.

Dalam satu kawasan tersebut, terdapat 3 bangunan terbuka tanpa tembok yang berjajar dari utara ke selatan. Bangunan tersebut adalah Bangsal Bujana (tempat menjamu pengikut tamu agung kerajaan), Bangsal Pradangga (tempat untuk menabuh gamelan), dan Bangsal Musik (tempat pertunjukan musik orkestra)


Sebuah Cagar Budaya yang Hidup

Keraton Surakarta Hadiningrat, adalah bagian penting dari cagar budaya yang diwakili oleh bangunan-bangunan bersejarah di dalamnya. Dan juga, terdapat sisi cagar budaya yang hidup di kawasan Keraton, yang masih berselaras tradisi dan budayanya, dan dijalankan oleh pelakunya sampai sekarang. Seperti contohnya adalah langgam gendhing (musik gamelan).

(DokPri) Abdi Dalem muda yang menabuh Bonang (alat musik penguat melodi dasar pada sebuah gendhing)

Setiap gendhing ataupun gamelan jawa, adalah bentuk perwujudan dari pandangan dan realitas dinamika kehidupan masyarakat. Alunan gendhing yang berirama, dari tali rebab, disusul bunyi suara dari bilah-bilah logam kuningan dan perunggu (slenthem), beriringan dengan irama saron, kendhang, gambang, kenong dan lainnya, dan pastinya diakhiri suara gong di penghujung bait irama gendhing. Kombinasi tersebut menjelma menjadi keselarasan jiwa dan rasa.

Gendhing, juga memiliki keistimewaan tersendiri ketika dipakai saat acara sakral, seperti misalnya saat acara kenaikan tahta Raja (Tingalan Dalem Jumenengan) dan kirab pusaka satu suro. Pada setiap acara sakral tersebut, gendhing akan melantunkan ritme yang berbeda dan khusus. Penampilan Abdi Dalem muda yang ikut andil dalam pagelaran menambah rasa optimis, bahwa masih ada sosok generasi muda yang meneruskan tradisi dan budaya Keraton Surakarta Hadiningrat.


(DokPri) Kandang Mahesa berada di kawasan Alun-Alun Kidul Keraton Surakarta Hadiningrat

Kerbau Bule (dinamakan bule karena mengalami kelainan pigmen albino) yang masih terjaga baik keuturunannya di kandang Mahesa (Kerbau) milik Keraton, membuktikan pula bahwa Keraton Surakarta Hadiningrat tetap menjaga tradisi kebudayaannya. Namun sebagian masyarakat salah mengartikan dari kerbau ini, dimana mereka menganggap kerbau ini mistis karena dinamakan pusaka kerbau Kyai Slamet. Usut punya usut, kerbau ini tersohor dengan nama kerbau keturunan Kyai Slamet bukan jelmaan manusia bernama Kyai Slamet.

(DokPri) Acara Kirab Agung Kenaikan Tahta Raja ke-15 (1 April 2019)
(DokPri) Kirab malam satu suro tahun 2019

Seiring berjalannya waktu, Keraton Surakarta Hadiningrat tetap menjalankan fungsinya sebagai pedoman tradisi yang turun temurun diwariskan sampai sekarang. Sebagai pusat kekuasaan dan kebudayaan Jawa, serta di tengah gemuruh arus kemajuan teknologi, Keraton tetap menjalankan prosesi kejawen untuk merawat warisan leluhur.

Seperti saat acara Kirab agung kenaikan tahta (Tingalan Dalem Jumenengan) dan tradisi awal tahun Muharram tahun islam yang telah ditranskulturisasi dengan tradisi ritual jawa islam, yang sering dikenal dengan kirab pusaka satu suro. Acara kirab sakral ini sarat akan makna dan nilai-nilai kehidupan, seperti prosesi Topo Mbisu (jalan berdiam diri) yang memiliki makna perenungan diri dan juga tidak memakai alas kaki selama kirab, sebagai bentuk kesederhanaan dan kesadaran bahwa manusia berasal dari bumi.


Aksi Nyata Merawat Cagar Budaya

(DokPri) Raja sedang duduk dengan Wayah Dalem (Cucu Raja)

Cagar Budaya Keraton Surakarta Hadiningrat tak selamanya akan lestari, jika tak diiringi dengan aksi nyata untuk menjaga warisan leluhur tersebut agar tetap hidup. Dibutuhkan semua lapisan masyarakat yang saling bersinergi untuk menjaganya, bukan hanya sekadar keturunan Raja dan para Abdi Dalem. Keraton Surakarta Hadiningrat adalah milik kita bersama, milik Indonesia.

Sebagai bentuk nyata, Saya sebagai generasi muda yang mencintai sepenuhnya sejarah Keraton Surakarta Hadiningrat, telah melakukan aksi nyata sedikit demi sedikit untuk melestarikannya. Seperti pada saat tahun 2018 dan 2019, secara berturut-turut saya membentuk komunitas Cinta Keraton Surakarta Hadiningrat, yang mengikuti acara-acara kebudayaan yang ada di Keraton Surakarta Hadiningrat.

(DokPri) Ini kirab tahun 2018 lalu

(DokPri) ini kirab tahun 2019 ini loh hehe
Tentunya dengan aksi nyata ini, serta tulisan yang saya ketik dengan sepenuh hati, semoga masyarakat Indonesia akan lebih mengetahui tentang Cagar Budaya Keraton Surakarta Hadiningrat dan ikut andil untuk melestarikannya bersama-sama. Akhir kata, mari cintai Cagar Budaya kita sendiri, jangan sampai musnah di makan usia. Matur suwun~


"Yen dikersaake yo disumanggake, jer diopeni tenanan"
Kalau ingin mampir, pasti dipersilahkan. Tetapi, harus dipelihara dengan baik"
- Sebuah pesan dari Sri Susuhunan Pakubuwono XII




Yuk mari ramaikan

4 komentar

  1. Jadi kangen main ke sana, diko. Pas dulu dibolehin masuk waktu ada event asean blogger. Alas kaki dilepas dan acaranya di ruang tengah. Keraton Solo termasuk terawat meskipun belum sebagus Jogja. Tp smg sampai tahun2 mendatang masih lestari ya.

    BalasHapus
  2. Dari awal baca udah kaya bayangin dikoko trus aku ikut bonceng naik motor buat ikut ke keraton dan nguri2 budaya di sana... Baguss tulisan dan foto2nya

    BalasHapus
  3. Lengkap banget uraian tentang Keraton Solonya Diko. Bacanya bawaannya adem, berasa lagi duduk silo di halaman dalam keraton.

    BalasHapus
  4. 2x ngunjungin keraton cuma sampe depannya aja. Ajakin aku buat kenal lebih jauh dong kak 😚

    BalasHapus

Silahkan berkomentar, link hidup akan dihapus. Terimakasih sudah membaca :)