Hujan Jangan Marah



"Hujan?"

Shinta mendongak menatap langit. Gelap. Sebentar lagi turun hujan. Dia tidak membawa apa-apa menyambut hujan yang datang mendadak. Gaun putih sepanjang lutut yang ia kenakan mau tidak mau akan kotor. Shinta mulai panik. Ia menyeret Djoko ke arah pohon tua di ujung jalan sana. Seharusnya ini menjadi hari yang spesial, batin Shinta mulai kesal.

"Mengapa kamu datang, hujan?"

Rintik hujan mulai turun, mengenai rambut hitamnya yang dikepang rapi. Bunga mawar putih yang ia selipkan diantara kepangannya mulai basah. Putih. Shinta menyukai warna ini. Menurutnya, warna ini melambangkan kesucian dan kemurnian. Persis seperti apa yang ia rasakan kepada Djoko.

Shinta dan Djoko duduk bersebelahan di bawah pohon tua. Daun pohon yang lebat itu cukup untuk mereka berteduh. Gemuruh guntur saling bersautan. Suaranya menggelegar. Nampaknya, hujan tengah naik pitam.

"Hujan jangan marah"

Kali ini Shinta tersenyum melihat Djoko. Berkali-kali ia membelai pelan wajah Djoko. Pucat. Darah segar mulai mengalir di keningnya. Setelah ia memukul pria ini dengan batu, Djoko terjatuh dan tak sadarkan diri. Shinta harus menyeret Djoko sampai hutan ini, jauh dari keramaian. Biarlah sunyi dan hening yang menjadi saksi bisu upacara suci yang akan Shinta lakukan sebentar lagi.



-oo-

"Aku tidak mau sama kamu! Lama-lama aku bisa gila sama kamu!" Dengan lantang, Djoko membentak tepat di depan wanita yang datang tengah malam di rumahnya. Dia sudah tidak waras lagi berhadapan dengan wanita ini.

"Aku mohon, menikahlah denganku. Aku cinta kamu, aku ingin hidup selamanya sama kamu!"

"Shinta, kita sudah putus dua tahun yang lalu! Berhentilah mendatangiku lagi" Djoko membanting pintu dengan kasar, meninggalkan Shinta yang berdiri termenung menghadap pintu. Dia berbalik badan, berjalan dengan membawa kekecewaan yang teramat besar.

Kamu bilang, cinta harus berkorban. Kamu bilang, cinta harus dikejar. Tapi mengapa setelah aku melakukan semua ini kamu tetap meninggalkanku? Aku sayang kamu, melebihi apapun. Aku rela melakukan apapun demi kamu, Djoko.

Shinta mulai meneteskan air mata. Mengingat segala memori yang tersimpan rapi di benaknya tentang Djoko. Bagaimana ia membuatkan sarapan tiap pagi, menyiapkan cemilan kesukaannya saat ia hendak kerja bahkan mengingatkan untuk selalu mandi tepat pukul lima sore. Semua ia lakukan untuk Djoko, tidak ada yang lain di dunia ini selain dirinya. 

Lalu bayangan tersebut pudar berganti menjadi bayangan lain. Bayangan saat ia tidak sengaja melihat Djoko mencium perempuan lain dan bermesraan manja di ruang tamu. Seluruh badan Shinta seperti terbakar. Ingin rasanya ia membunuh perempuan itu. Namun, perasaan marah sekejap menjadi bahagia saat melihat wajah itu. Wajah bahagia Djoko yang tersenyum bak malaikat. Shinta tersenyum, melupakan amarahnya.

Cinta memang aneh, batin Shinta mengingat itu semua.
  


-oo-

"Dimana aku?" Dengan setengah sadar, Djoko merasakan air menyentuh kulitnya. Ia melihat sekitar dengan mata setengah terbuka. Hijau. Ia terkejut saat pandangannya sampai ke perempuan itu. Perempuan yang dulu pernah mengisi hatinya, sampai ia sadar bahwa perempuan ini tidak waras.

"Kita sedang menuju ke keabadian, sayangku. Kita akan menjadi putih"

"Tolong, jangan lakukan hal-hal aneh, Shinta!" Teriak Djoko memohon. Usahanya sia-sia. Ia melihat Shinta mengambil pisau belati di balik gaunnya, lalu memandangnya dengan senyum yang aneh.

Kemudian dengan gerakan cepat, Shinta memotong nadi Djoko tepat di tangan kirinya, kemudian Ia memotong nadi miliknya. Darah segar mereka bercucuran mengalir ke tanah, berbaur dengan genangan hujan. Djoko merasa lemas, sampai akhirnya ia tidak bisa melihat apa-apa. Terakhir kali yang ia lihat adalah Shinta, dengan senyum dan tatapan yang lembut menatap Djoko. Ia berkata,

"Djoko, aku akan melakukan apapun demi kamu. Demi kita. Tidak ada yang akan menghancurkan cinta kita berdua, apalagi kehidupan ini. Kita telah menjadi putih, dan abadi. Kita akan bersama di kehidupan berikutnya. Aku tidak sabar ingin membuatkan sarapan kesukaanmu lagi"

Shinta mendongak, merasakan tetesan hujan mengenai wajahnya untuk terakhir kalinya.

"Maafkan aku hujan, kamu menjadi merah sekarang".



-oo-

 Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu 

Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapuskannya jejak-jejak kakinya 
yang ragu-ragu
di jalan itu 

Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono


1 komentar

Silahkan berkomentar, link hidup akan dihapus. Terimakasih sudah membaca :)